07 Maret 2010

Pelopor dan Perintis Kampoeng Agribisnis


PENDAHULUAN

Bahwa pembangunan di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui Gerakan Multi Aktivitas Agribisnis Sistem Kebersamaan Ekonomi perlu ditingkatkan untuk menunjang pembangunan nasional secara keseluruhan. Komoditi Perkebunan merupakan bahan baku industri pabrik pengolahan yang menjadi kebutuhan internasional yang mampu memberikan kontribusi devisa Negara yang cukup besar. Pengembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui Gerakan Multi Aktivitas Agribisnis Sistem Kebersamaan Ekonomi disamping untuk meningkatkan SDM Petani juga untuk mengembangkan perluasan lapangan kerja dan meningkatkan penghasilan, juga bertujuan untuk menunjang kegiatan Penanganan Agribisnis Perdesaan yang berkelanjutan sesuai dengan kearifan lokal. Bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui Gerakan Multi Aktivitas Agribisnis Sistem Kebersamaan Ekonomi di Jawa Barat yang terintegrasi dalam sistem pemberdayaan ekonomi masyarakat yang terpadu dan berkelanjutan maka pendampingan menjadi hal yang sangat penting untuk menunjang kesuksesan, untuk memfasilitasi perlu dibentuk wadah / organisasi / kelembagaan Fasilitator Daerah FASDA yang kuat, untuk itulah Paguyuban Fasilitator Daerah Jawa Barat (PAGUYUBAN FASDA JABAR) hadir.

‘Merdeka!’ lantang dan bersautan digemakan masyarakat yang tenggelam dalam eforia 17 Agustus kemarin. Baru saja momen kemerdekaan berlalu semangat kepahlawanan tentang arti perjuangan suatu bangsa merdeka masih membara dalam dada, tapi lambat laun api semangat itu menjadi redup malah nyaris padam seiring masyarakat di hadapkan pada naiknya gas lpg 12 dan 15 kg resmi diumumkan Pertamina dan direncanakan kenaikan itu terjadi tiap bulan sampai harga lpg menjadi ekonomis, di sisi lain Kerugian Indonesia dari kontrak ekspor gas ke Cina mencapai Rp 350 triliun (Republika, 26/8/2008), menengok di pasar harga kebutuhan pokok merangkak naik menjelang Ramadhan. Semangat masyarakat berganti pening melihat drastisnya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sembari meratapi dan lontaran sumpah serapah kepada pemimpin yang dianggap tidak becus mengurus ekonomi.

Dari fakta tersebut di atas, layaknya kita mereview kembali arti Kemerdekaan. Layakkah bangsa yang diberi karunia kekayaan alam yang dahsyat harus menjerit dihimpit beban akibat naiknya harga bahan pokok disamping ketiadaan uang untuk membelinya karena sulit mendapat pekerjaan layak?. Untuk itu kita harus melihat dulu arti Kemerdekaan itu seperti apa dan makna penjajahan di sisi lain. Dari komparasi keduanya kita dapat mengambil kesimpulan, dimanakah jarum neraca bergeser. Merdeka atau Kebebasannya suatu bangsa berarti lepasnya bangsa tersebut dari belenggu perbudakan baik perbudakan ekonomi, politik, keamanan, militer, budaya dan sebagainya demi kepentingan sebanyak-banyaknya negara penjajah. Sebaliknya penjajahan dalam buku The Political Concepts of Hizbut Tahrir karya Taqiyuddin An-Nabhani (1969:10) mendefinisikan Penjajahan (Colonialism) adalah “The enforcement of political, military, cultural and economic control over the weak nations in order to exploit them, is the method employed by the western bloc to spread capitalism” artinya Pemaksaan atau dominasi pada politik, militer, budaya dan ekonomi atas suatu negara dengan tujuan dieksploitasi (dihisap potensinya), sebagai metode penyebaran ideology kapitalisme.

Mencermati definisi tersebut di atas, sebagai suatu bangsa yang sedang suka cita menyambut Kemerdekaan, selayaknya pula bangsa ini melakukan muhasabah (evaluasi diri) “Apakah Indonesia telah Merdeka secara utuh atau masih terjajah tetapi dengan bentuk penjajahan gaya baru?” artinya merdeka yang sesungguhnya bukan hanya lepas dari penjajahan militer sementara ekonomi, budaya, politiknya masih tetap dijajah Negara Kapitalis Barat. Jika memang penjajahan gaya baru (new colonialism) berupa hegemoni Barat dibidang ekonomi, politik dan sebagainya masih berlangsung maka tugas kita adalah segera melanjutkan tugas para pendahulu yaitu pahlawan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan gaya baru. Jika kita jujur mencermati, sesungguhnya bangsa Indonesia masih belum seutuhnya merdeka. Penjajahan yang membelenggu bangsa ini tampil dalam kemasan baru yang tidak sembarang orang mengetahuinya kecuali yang memiliki kesadaran politik yang tinggi.

Dalam tulisan ini kita sedikit mengelaborasi atau menelusuri salah satu bentuk penjajahan gaya baru tersebut yaitu penjajahan ekonomi. Penjajahan dibidang Ekonomi, Penjajahan sekarang menjauhi tetapi bukan berarti meninggalkan model penjajahan secara militer (apa yang terjadi oleh Amerika di Irak dan Afghanistan contohnya). Tetapi penjajahan era ‘globalisasi’ sekarang diselimuti jargon nan indah tetapi tetap bahayanya sama seperti penjajahan konvensional yaitu melalui penyebaran ide dan pemikiran ekonomi adalah ide pembangunan ekonomi dan keadilan sosial, agar negara-negara yang baru saja lepas dari penjajahan militer dapat segera masuk ke perangkap penjajahan ekonomi Amerika. Sebab, pelaksanaan ide-ide itu jelas membutuhkan banyak dana. Maka dari itu, tertipulah negara-negara tersebut untuk segera mencari hutang luar negeri dan terjerumuslah mereka menjadi negara dengan hutang bertumpuk. Indonesia juga tidak luput sebagai objekkan Amerika dan sekutunya karena negeri yang luasnya 1.92 juta km² (742,308 mil²) mayoritas atau ± 90% penduduknya muslim, mempunyai kekayaan alam yang paling melimpah, seperti minyak bumi, bijih besi, fosfat, gas alam, uranium, bouksit, kayu, tekstil, karet, minyak kelapa sawit, karet, kakao, padi, ternak sapi, kambing, itik dan lain sebagainya.

Setelah runtuhnya Soviet atau Blok Timur, Amerika muncul sebagai penguasa tunggal yang bebas mengatur dunia dengan telunjuknya. Lalu Amerika menetapkan prinsip-prinsip Tata Dunia Baru (The New World Order) didasarkan pada pembentukan lembaga-lembaga internasional di bidang politik, ekonomi, kesehatan, peradilan, dan pendidikan. Maka lalu berperanlah PBB, Dewan Keamanan, IMF, Bank Dunia, Mahkamah Internasional, dan lembaga-lembaga dunia lainnya. Penting di sini kita bahas peran IMF di Indonesia, karena tidak dipungkiri tangan IMF telah berlumuran darah akibat merekomendasikan paket kebijakan ekonomi yang menyengsarakan rakyat banyak. IMF sendiri didirikan tahun 1944 sesuai perjanjian Bretten Woods mempunyai peran untuk mendominasi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, antara lain ditempuh dengan cara memberikan bantuan dan merekayasa krisis yang menyebabkan kebutuhan akan hutang. Pada masa rezim Orde baru strategi IMF telah totalitas bisa dijalankan Indonesia setelah rekayasa menjatuhkan rezim Soekarno dilakukan, pemerintahan Soeharto sangat kooperatif dengan IMF dengan meminjam utang luar negeri walau pun waktu itu namanya bukan utang tapi disebut ‘bantuan’, ‘hibah’, atau diistilahkan ‘dana perimbangan anggaran’ tapi tetap intinya utang berbunga tinggi. Puncaknya, tahun 1997 gejolak krisis ekonomi menimbulkan efek domino ke krisis politik dan akhirnya menumbangkan rezim Orba Soeharto. Pada saat krisis terjadi Presiden Soeharto yang terkenal tegas akhirnya bertekuk lutut pada Michael Camdesus Direktur IMF untuk menandatangani paket pemulihan ekonomi (terkenal dengan nama SAP/Stuctural Adjusment Program) menurut resep IMF. Paket pemulihan ekonomi gaya IMF biasanya memaksakan tiga syarat-syarat berikut : (1) Kebebasan dalam perdagangaan dan penukaran mata uang, (2) Menurunkan nilai mata uang, (3) Melaksanakan program penghematan, yang meliputi : Menetapkan syarat-syarat untuk peminjaman lokal dengan menaikkan suku bunga, Mengurangi belanja negara dengan meningkatkan pajak dan tarif jasa-jasa, menghentikan subsidi untuk barang-barang konsumtif, dan tidak menaikkan gaji pegawai negeri, Menarik modal asing untuk investasi dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam tata aturannya, dan membuat sejumlah kebijakan untuk mengesahkan undang-undang guna mendukung ide swastanisasi, yang menurut IMF, berguna untuk menggairahkan kegiatan ekonomi. Resep-resep IMF secara total telah dipakai mengobati krisis ekonomi di Indonesia, tetapi yang terjadi malah malpraktik. Resep IMF yang diberikan malah cendrung menyeret Indonesia kearah liberalisasi pasar dengan menerapkan system ekonomi kapitalis. Yang menyerahkan mekanismen ekonomi pada ‘invisible hand’ atau tangan ajaib, istilah lain dari hokum pasar, membebaskan persaingan, dan kepemilikan.Indonesia kini dililit masalah besar akibat system kapitalisme, Indonesia kembali menjadi Negara miskin dengan utang Luar Negeri Rp745 triliun dan utang Dalam Negeri Rp655 triliun. Menurut Dani Setiawan dari Program Officer Koalisi Anti Utang (KAU) dan anggota Aliansi Advokasi PendidikanNasional, pembayaran cicilan bunga dan pokok dalam APBN 2006 mencapai Rp. 140 Trilyun. Angka tersebut lebih besar daripada anggaran pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat lainnya. Anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 8,1 persen dari target 12 persen yang sebelumnya disepakati Komisi X DPR bidang Pendidikan dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan persentase tersebut, Depdiknas hanya memperoleh dana sekitar Rp 36 triliun dari Rp 48 trilyun yang dibutuhkan. Fakta tersebut sungguh jauh dari realisasi kewajiban pemenuhan anggaran sebesar 20 % dalam APBN.Menurut Rizal Ramli bahaya utang itu sangat jelas yaitu the creeping back of neo-colonialism (kembalinya kolonialisme gaya baru). Bukan lagi model kolonialisme jaman dulu, pakai kekuatan militer dan dominasi politik, tetapi penguasaan ekonomi melalui mekanisme pasar. Proses kembalinya neo-kolonialisme itu sebetulnya dimulai pada tahun 1967 saat renegosiasi utang dengan kreditor-kreditor. Set back sedikit, waktu KMB (Konferensi Meja Bundar) di Belanda, Indonesia ditekan pada waktu itu untuk mengambil alih utang-utang pemerintahan Hindia Belanda tapi akhirnya tidak dibayarkan pada pemerintahan Soekarno Hatta.

Tapi waktu pemerintahan Soeharto, awal Orde Baru pada tahun 1967, Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang disebut sebagai Mafia Berkeley membuat kesepakatan baru untuk mulai membayar utang Hindia Belanda tersebut yang sebetulnya secara moral itu tidak justified (dibenarkan), secara histories politis itu tidak justified. Tetapi Widjojo dan kawan-kawan waktu itu sepakat untuk mulai mencicilnya. Widjojo dan kawan-kawan itu memang dididik di Berkeley, dipersiapkan untuk mengambil alih pengelolaan ekonomi setelah Soekarno jatuh, supaya membelokkan garis ekonominya, satu garis dengan garis Washington. Sejak itulah dimulai the creeping back of neo-colonialism. Seperti diketahui bahwa sekarang, untuk menguasai suatu negara tidak perlu secara militer, tidak perlu secara fisik, asal ekonominya bisa dikendalikan, negara tersebut bisa dikuasai. Sejak itu, Mafia Berkeley berkuasa nyaris tidak pernah berhenti selama 40 tahun, berlanjut ke muridnya, ke cucu muridnya dan seterusnya.

Akibat lilitan utang, kedaulatan bangsa digadaikan. lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, menekan Indonesia merumuskan undang-undang, merumuskan berbagai kebijakan. Misalnya, awal orde baru tahun 1967, UU investasinya dibuat oleh satu lembaga kreditor kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan jadilah UU Investasi. Banyak sekali UU yang masuk ke kategori itu. Misalnya, Bank Dunia mempersyaratkan pinjaman 400 juta dollar dengan imbalan Indonesia harus membuat UU Privatisasi Air, sehingga petani juga harus bayar air. Kemudian ADB (Asia Development Bank) memberi pinjaman 300 juta dollar tapi dengan kompensasi Indonesia harus ada UU Privatisasi, agar perusahaan-perusahaan negara bisa dijual dengan harga murah. Jadi banyak sekali UU dan peraturan pemerintah yang sebetulnya dipesan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional.

Dan dari harapan untuk diberi utang, pemerintah harus rela menyerahkan Asset-asset yang ratusan milyar dollar ini adalah milik bangsa kita maka kekayaan itu seakan tidak bermakna. Cepu misalnya, nilainya antara 120 billion dollar sampai 150 billion dollar. Lebih besar daripada cadangan minyaknya bekas Caltex di Sumatra Selatan. Tetapi pengelolaan ladang minyak ini diberikan kepada perusahaan Exxon tanpa kompensasi yang memadai. Hal tersebut, dugunakan untuk mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia 300 juta dollar, dari Amerika 400 juta dollar, dan dari Eropa. Itu baru satu Cepu saja, nilainya ratusan milyar dollar. Belum lagi Freeport di Papua dan yang lain-lain yang bertebaran di nusantara itu tak terhitung nilainya.

Selanjautnya, jumlah kemiskinannya cukup fantastis menurut The Imperative for Reform; World Bank dengan standar garis kemiskinan US$ 2/ hari maka penduduk miskin di Indonesia menjadi 55,1%. Akibat kemiskinan 1,67 juta balita busung lapar, 4,5 juta anak putus sekolah, kriminalitas meningkat 1000%, perceraian meningkat 400% dan penghuni Rumah Sakit Jiwa meningkat 300% (data-data tersebut di atas diperoleh dari buku Political Quotient karya M.D Riyan diterbitkan Madania Prima Bandung. 2008, hlm.7)Kondisi keterpurukan tersebut di atas seharusnya tidak boleh terjadi di negeri kaya ini. Indonesia dikenal sebagai negeri subur makmur yang kekayaannya tersimpan di daratan dan di lautan jadi tidak layak atau ‘aneh’ bila penduduknya mayoritas menderita dan miskin. Kalau menurut pepatah “Bagai Ayam mati di lumbung padi”. Berarti ada yang salah dengan kebijakan (policy, beleid) ekonomi kita, selama ini pemerintah (goverment), mengambil keputusan (decision making) berdasarkan resep IMF yang berideologikan kapitalisme menjadikan alokasi (allocation) dan distribusi (distribution) kekayaan alam yang melimpah yang ada menjadi ‘jomplang’. Pemerintah berat kepada pasar/kapitalis disbanding rakyat. Salah satu kebijakan yang merugikan rakyat dan menguntungkan pasar/kapitalis adalah pencabutan subsidi pada barang vital seperti listrik dan BBM (Bahan Bakar Minyak). Subsidi bisa disebut juga sumbangan atau derma (charity) bertujuan untuk menjaga stabilitas harga-harga atau mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis menguntungkan rakyat karena dapat membeli harga listrik dan BBM dengan murah tapi merugikan pasar/kapitalis yang bisnisnya dibidang tersebut, subsidi menjadikan harga tidak ekonomis karena hambatan perdagangan (trade barrier) tersebut. Maka dengan alasan penghematan anggaran, defisit anggaran, penghematan energi subsidi dipangkas.

Kebijakan pemerintah untuk menaikkan TDL (Tarif Dasar Listrik) sebesar rata-rata 16% tahun 2002 juga kenaikkan harga BBM sebesar 20%-25% awal 2002, dan berlanjut era pemerintahan SBY dan Kalla sampai 100% lebih BBM dinaikan. Pencabutan itu terjadi bukan karena menutup defisit APBN, maraknya penyelundupan BBM keluar negeri, subsidi yang salah sasaran, dan sebagainya tetapi karena resep IMF. Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4 dengan gamlang mengakui hal tersebut. Tatkala menjawab pertanyaan salah seorang jamaah seusai salat Jumat di Mesjid Baiturrahim, Istana Merdeka (18 Mei 2001), dia menyatakan: "Sebenarnya bagi pemerintah, menaikkan harga itu juga tidak enak. Pemerintah tidak ingin menaikkan apa-apa. Hanya saja, kita terikat peraturan IMF yang tidak boleh ada subsidi.”(Bulletin Al-Islam no.90, www.al-islam.or.id).

Kapitalisme yang jadi subtansi resep IMF juga telah menjadikan kekayaan pertambangan kita telah beralih tangan menjadi milik perusahaan-perusahaan tambang luar dengan program privatisasi. Program privatisasi yang berada di bawah menteri BUMN terus berlanjut. Kerugian akibat privatisasi diungkapkan Amin Rais Dalam tulisan berjudul "Inkonstitusional", di kolom Resonansi Harian Republika, pada tahun 1998 menjelang jatuhnya Suharto, Amien Rais menulis :"Bisakah kita mengambil pelajaran dari PT Freeport Indonesia di Irian Jaya ? Perusahaan tambang Amerika ini sejak 1973 telah menambang emas, perak, dan tembaga di Irian Jaya.

Sekarang ini setiap hari, 125.000 ton biji tambang diruntuhkan dari gunung-gunung di pegunungan Jaya Wijaya. Dari jumlah biji tambang sekian itu, diperolehkonsentrat sekitar 6000 ton. Setiap ton konsentrat mengandung 300 kg tembaga, 60 gram perak, dan 30 gram emas. Walhasil selama seperempat abad, kekayaan bangsa yang sudah digotong ke luar negeri kurang lebih 1620 ton emas, 3420 ton perak, dan 162 juta ton tembaga. Sekian ton emas itu, kalau dirupiahkan dengan harga sekarang [1998] bernilai lebih dari 400 triliun rupiah.

\Tahun 1991 Freeport sudah mengantongi izin penambangan lagi untuk masa 30 tahun ditambah dua kali sepuluh tahun (dus, setengah abad) dengan wilayah eksploitasi yang lebih luas lagi. Mau dibawa ke manakah Indonesia yang kita cintai bersama ?"Mengapa PT Freeport Indonesia (PT. FI) dapat leluasa merampok kekayaan alam milik rakyat ? itu pun tidak lepas dari program ‘paket pemulihan ekonomi’ IMF yaitu swastanisasi atau privatisasi dengan menjual BUMN-BUMN penting yang mengusai hajat hidup orang banyak kepada pasar/kapitalis.

Memang IMF telah hengkang dari sini, tetapi program-programnya terus berlanjut melalui ‘tangan kanannya’ yang biasa disebut mafia Berkley yaitu para menteri yang orintasi kebijakannya berkiblat ke IMF. Maka pantas, selama ideology kapitalisme tidak diusir dari Indonesia perbudakan atau penjajahan tidak bisa dihapuskan. Masyarakat Indonesia tetap miskin karena dimiskinkan secara stuktural akibat kebijakan-kebijakan ekonomi kapitalis yang sangat pro kapitalis atau negara kapitalis seperti Amerika dan sekutunya karena mereka bebas merampok kekayaan dengan berlindung dibalik slogan privatisasi. Sementara masyarakat pemilik sah kekayaan hanya gigit jari menyaksikan para kapitalis asing mengeruk sumber daya (resources) dengan leluasa dibantu kaki tangannya yaitu para pejabat, didukung juga oleh aktivis-aktivis LSM komprador yang menerima dana miliaran dari Barat dan bermental in lander

Penutup

Sudah saatnya kita merdeka seutuhnya, penjajahan gaya baru dibidang ekonomi harus segera dihentikan. Cara efektif tidak terjerumus lebih dalam dalam kubangan kesengsaraan akibat kapitalisme, maka bangsa Indonesia sebagai bangsa relijius harus kembali kepada system yang dibuat penciptanya yaitu Allah. Islam mengajarkan system ekonomi berkeadilan, berbasiskan tauhid, anti spekulasi, monopoli, jaminan pemenuhan kebutuhan primer individu dan masyarakat. Insya Allah, ekonomi Islam akan memerdekan Indonesia dari penjajahan gaya baru yang menyengsarakan ini. Dan ekonomi Islam tidak akan tegak kecuali berdiri pada asas ideology Islam yang dilaksanakan secara praktis oleh Khalifah dalam system Khilafah Islamiyyah. (Gapoktan BMS).